Minggu, 13 September 2015

Oleh– oleh “Wonge Dewek”

D

esaku desa pinggiran. Apa yang dimakan adalah hasil kebun atau sawah atau bahkan dari hutan yang menurut banyak orang tidak layak untuk dikonsumsi. Tapi itulah kami, sekelompok penduduk yang memiliki banyak keterbatasan.
           Ada banyak cara mereka memberi makan anak-anaknya dengan makanan hanya sekedar untuk menyambung hidup. Tapi apalah daya, begitu keadaanya pada 20 tahun silam.
           Sebagaian kelompok yang hidup pada jaman itu sering menengadahkan tangan tanda mereka bersyukur bias melihat anak cucu mereka bias menikmati sepiring nasi atau sekedar ikan asin di atas piringnya.
            Ada rasa percaya diri ketika sebagian isi kepala kita memberikan apresiasi penuh terhadap apa yang telah mereka lakukan. Mereka menciptakan makanan dengan cara mereka dan bahkan dengan alat sederhana yang ia punya. Dengan begitu adanya potensi local yang diangkat adalah makanan khas yang tertanam dari nenek moyang.
Ketika Singkong disulap menjadi Ondol-ondol, ketika bunga Aren diubah menjadi pelengkap rasa manis. Atau hasil tangan-tangan terampil yang dipelajari dari nenek moyangnya. Kini dijadikan sebagai bahan identitas daerah yang memiliki arti yang tinggi. Entah itu sebongkah batu atau kayu yang dipahat dengan berbagai bentuk atau sebatang pohon yang mengandung gizi.  Bagaimanapun itu adalah bentuk keuletan pendahulu yang bisa dijadikan sebagai symbol kebudayaan dan  warisan budaya.



           By : Curugbajing_ID


0 komentar:

Posting Komentar